Monday, April 16, 2007

maaf untuk indiefest

Pada awal tahun 2006, suatu rangkaian acara yang diberi tajuk, LA Light Indiefest digelar dibeberapa kota besar di Indonesia, Bandung, Jakarta, Jogjakarta, dan Surabaya. Dalam rangka mencari bakat-bakat baru musikus yang mengusung ‘tema indie’.

Indie, dalam istilah ini diambil dari kata Independent, yang menurut kamus Inggris-Indonesianya John M. Echols dan Hassan Sadily, (maaf, klise, tapi ini untuk acuan) yang jika mengacu pada kata sifat, bermakna merdeka, sendiri, yang berdiri sendiri, yang berjiwa bebas, bebas. Biarkan saya bahas satu persatu kata tersebut dalam perspektif saya memandang musik indie ‘versi-indie-saya-seharusnya’.

Pertama, kita ambil makna merdeka, disini semua orang/musisi berhak menentukan warna musiknya sendiri, dengan kata lain, musik indie tidak (jarang) mengacu pada pasar, dan bisa dikatakan oposisinya top 40.

Sendiri, yang berdiri sendiri, inilah garis besar musik indie, dari mulai produksi, distribusi, promosi, bahkan mengadakan sebuah gigs sekalipun, mereka mengundang para fansnya melalui milis, dan saya pun salah satu dari anggota milis tertentu yang pernah mengadakan secret gigs, yang diadakan di sebuah rumah. Mereka melakukannya sendiri, tanpa bantuan pihak lain (dalam hal ini sponsor besar), sekalipun disponsori, alih-alih menggunakan label besar, mereka biasanya disokong oleh sponsor lokal (distro, komunitas, dll).

Para musisi mendapati dirinya berjiwa bebas, bebas untuk bermusik, bebas untuk menentukan (bukan ditentukan) pasar, dan apakah sekarang mereka bebas memilih dalam konteks memilih jalur ‘kontes-kontesan’ yang diadakan sebuah major besar (katakanlah yang didukung oleh perusahaan sekelas LA Light).

Saya tidak menuntut bahwa indie harus ekslusif, tapi saya hanya miris ketika indie di awal tahun 2000an menjadi sebuah komoditi umum, atau bisa disebut sebagai gaya hidup anak muda masa kini, dan saya melihat ini sebagai: musik indie buah budaya pop, meskipun jauh-jauh tahun sebelumnya musik ini tidak dikenal, terkesan ekslusif, jenius, dan anti-kemapanan (barangkali) atau lebih tepatnya mereka berkarya untuk kepuasan dan eksplorasi diri terhadap musik, bukan sebagai mata pencaharian atau popularitas seperti band-band keluaran ‘program-sms-terbanyak’.

Bukan saya tidak mau jika the Sigit atau cherry bombshell terkenal, bukan, saya pun ingin mereka maju (da mereka mah udah terkenal dan maju, iya sekarang) tapi sekarang kenyataannya band-band indie terdahulu maju dan terkenal karena mereka eksis dan kreatif, dan tidak instant.

Sekarang coba dengarkan sebuah lagu dari band-band indie sekarang, pasti mereka mempunyai pakem atau terinfluece band jaman baheula, maka tidak aneh jika kita sama-sama mendengar satu musik, saya (dan teman2 saya pun suka) berkomentar : ‘musikna rock n roll siga the sigit euy’, atau ‘maneh band-na meni PS pisan’, atau yang lebih miris ketika ada yang bilang ‘anjrit garalau kieu siga the milo’.

Terbukti kalau begitu, mereka memang jenius, mempunyai ciri khas, dan bisa mempengaruhi musisi baru. Ya, walau ada lah band-band baru yang punya ciri khas berbeda dari sebelumnya, seperti beberapa band dari Jakarta.

Tapi saya dillema ketika menulis ini, karena orang yang saya kenal ada yang masuk ‘album kompilasi’, antara takut dimusuhi orang dan takut dimusuhi oleh diri sendiri karena tidak berani melempar wacana ini. Dillema lain, adalah ketika saya mepertanyakan ini, akan timbul pernyataan baru dari mereka bahwa, mereka pun dulunya berusaha, dari panggung ke panggung, membuat profile band disertai musiknya di myspace, dan usaha-usaha lain. Tapi...*dengan mengehlanapas berat* saya tetap menyayangkan, kenapa tidak menetap di jalur? Dan ketika tulisan ini ada berarti saya telah mengalahkan ketakutan saya yang pertama. Halo Astrolab! Kita masih berteman?

Oh ya, tentu saja, saya memang tidak berhak untuk menggugat atau mempertanyakan kembali makna indie, karena saya memang, musisi bukan, karena tidak bisa bermusik. Pemerhati musik indie juga bukan, karena pengetahuan saya minim, produser ataupun orang dibelakang industri ini apalagi, tidak punya pengaalamn secuil pun. Nonton les-voila juga jarang, da peuting teuing, hehehe...

Jadi siapa saya? saya hanya orang yang peduli terhadap musik yang langka dan brilian ini, dengan mempertanyakan kembali makna tersebut, diharapkan juga saya bisa belajar lebih untuk mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam ke-indie-an ini.

Maka dari situ timbul lagi pertanyaan apakah yang instant itu tidak tahan lama? Jawabannya kita lihat saja apakah band-band alumni LA Light indiefest dapat bertahan? Dan tulisan ini tidak pernah berkata untuk ‘bebaskeun we meh santey’ atau ‘ini semua balik lagi sama diri kita masing-masing, mau pilih Indie atau indie dengan embel-embel fest. Dan salut buat para musisi Indie yang telah memperkaya khasanah permusikan di tanah air.

seseorang dari masa 2 tahun yang lalu

Seseorang dari masa dua tahun yang lalu. Pada bulan puasa kemarin kami sepakat untuk bertemu. Ya, basa-basi pertama dengan menanyakan kabar, lalu dia bertanya, 'apa kabar Dung 2 tahun ini, idup lo berubah ga?'
Mr. 2 years ago, ketahuilah, ternyata selama dua tahun kita hanya bertegur sapa dan berbagi kabar lewat sms dan telfon, ternyata (sangat) banyak kejadian yang tidak bisa diceritakan lewat dua media tersebut, terlebih, dua tahun terakhir ini saya tidak berbagi kepada siapapun kecuali wQ dan Arya.
Busyet, sekarang kita mundur, tahun 2005 akan saya rangkum.
Dimulai dengan kejadian petaka bulan agustus, saya loloos spmb dan masuk (pindah lebih tepatnya!) jurusan perancis UPI. Menjalani September yang sangat anjing sekali, karena saya tidak menyukai ospek dan dampak yang diterima, saya memang tidak dianggap oleh sejumlah (mayoritas) anak himpunan, tapi lihat sisi positifnya! Saya lebih "dikenal" oleh senior. Wah, efek yang tragis, mengingat saya tidak menyukai status saya yang biasa menjadi selebritis.
Pernah patah hati oleh sahabat sendiri, naksir oQ, ditusuk dari belakang oleh seorang wanita (sekarang saya lebih senang memanggilnya bitch, bukan so inggris, tapi saya rasa itu lebih sopan daripada memanggil pelacur atau perek).
Pernah merasa terlantar karena kuliah yang asal-asalan dan tidak punya motivasi untuk belajar, IP yang jeblok, teman-teman yang masih nge-geng ala anak smu, mencoba menutup diri, mempunyai self defense yang berlebih, yang ternyata setelah diketahui itu merupakan aib.
Mencoba untuk bertahan dengan keotoriteran orang rumah, mencoba untuk serius belajar motret, selalu meminjam kamera beli komang dan arya, yang saya anggap hak milik, karena… meminjam berbulan-bulan dan tidak dikembalikan kecuali saat mereka butuh.
Mulai dekat dengan arya, ada percikan asmara dan chemistry yang saya rasa tidak terjadi pada mantan pacar saya sebelumnya.
Ok, cukup. 2006 akan saya buka dengan ulang tahun saya yang ke 20, tepatnya 4 januari.
Bulan februari pertama ciuman, muali menjalin hubungan yang... saya sensor saja bagian ini, terlalu banyak perasaan-perasaan yang bikin sakit perut dan rasa geli pada kaki. Kita sebut saja bagian ini UFO (unidentification feeling objects) hahaha….
Ya, 2006 ini banyak cerita tentang bab UFO, memang.
Banyak puisi, tangis, tawa, perasaan haru biru, saat merasa nyaman menjadi diri sendiri, oh, stop, saya rasa air ini masih bisa mengalir...

Jadi apa kabar saya saat ini? Jawaban dari paragraph dia atas, untuk Mr. two years ago adalah "baik, dan sedang mencoba menata hidup"


Simple dan palsu.

surat bingung untuk tuhan

Esensi dari kehidupan adalah mencari misteri. Dan manusia akan bertahan di dunia selama ia masih mencari misteri tersebut. Ada manusia yang setiap paginya bangun tidur, beraktifitas lalu pulang ke rumah, tanpa pernah tahu ada peristiwa yang terjadi di dunia, yang bisa diambil pelajaran, lalu dijadikan hikmah, untuk terus menikmati hidup, bukan dengan sembarang bernafas dan melakukan ''to do list'', tapi dengan menemukan arti hidup. Tidak ada yang tahu bagaimana cara menemukannya, penuh dengan syarat makna.
Apa yang ada dipikiran kita ketika bangun tidur?
Menikmati cerahnya mentari pagikah? Lalu menyapa dunia?
Atau kegiatan bangun tidur diartikan dengan dimulainya hari baru, lalu beraktifitas seperti biasa, dunia diartikan sebagai tempat hidup, tanpa pernah tahu, bahwa dunia bisa dinikmati dengan berbagai berkah yang tersedia, untuk direnungi dan difahami makna, siapa aku ? untuk apa aku ada ? dapatkah aku melakukan sesuatu untuk dunia ?
Percayakah ? bahwa ada dzat yang maha misteri, entah itu berada jauh di pusat bumi, atau di atas langit ketujuh sekalipun, dzat itu yang maha memiliki semua misteri ini, menggerakan dan merencanakan sesuatu yang tidak kita tahu kemana arah dan tujuan dari rencana, ya, manusia yang hanya bisa membuat rencana, dan dalam hitungan detik, ZAP! lenyap...
Pernahkah mencoba bersepeda di saat menjelang isya, melewati jalanan yang gelap, ditemani bentangan sawah, suara kodok dan semilir angin sawah musim kemarau ? sambil merenung, mengutuki hari yang tak kunjung usai, dengan membawa beban yang hampir tak sanggup dipikul ? mencoba menjalani takdir yang hampir disumpah serapahi setiap detiknya, berharap dapat mengubah jalan hidup, agar selalu sesuai dengan rencana, berharap menjadi sutradara sekaligus aktor dalam satu episode kehidupan ?

Doa, hanya diartikan sebagai permohonan yang bisa dipanjatkan kapan dan dimana saja, tempat ibadah hanya diterjemahkan sebagai tempat agar dicap sebagai penganut agama yang saleh. Hubungan dengan Tuhan menjadi semacam lelucon, dan Tuhan hanya dibutuhkan ketika tertimpa musibah dan tidak tahu harus berharap dan meminta kepada siapa. Tuhan telah dijadikan tempat pelarian ketika lara berpacu dengan waktu, menuntut akhir yang indah.
Dosa? entahlah, nampaknya manusia sudah melupakan artinya. Sedangkan pahala, hanya imbalan ketika memberi sedekah pada orang fakir dan miskin. Sisanya, hanya remeh temeh dari apa yang dinamakan urusan tuhan dengan semesta. Tak mau dan tidak berusaha untuk tahu.
Lalu dimana manusia ketika ajal telah menjemput ? sebagai orang yang beragama mungkin menggagap ada kehidupan yang abadi setelah kehidupan fana ini. Tapi bagaimana dengan manusia acuh lainnya ? apa mereka berharap setelah masuk liang lahat, ada hari lain yang akan menanti ? entahlah, bagiku itu pun masih menjadi misteri.

Bagaimana dengan tangisan dan ratapan? Apakah disitu pun ada kehidupan yang layak untuk dirayakan?
Kebahagiaan dan tawa riang, mungkinkah itu hanya semu? Yang selayaknya dievaluasi ulang, dengan cara bagimana kita mencapainya? Dengan senang karena memotong padi, atau karena memotong padi dari hasil yang kita tanam?

Wahai dzat yang maha misteri...
Sampai dimana manusia harus menemukanjawaban dari semua rencanamu yang misterius ini ? masihkah berlaku segala peluh usaha dan perjuangan ? jika pada akhirnya semua sudah ditentukan ? dan manusia hidup layaknya sebagai seorang penjudi, hanya memiliki sedikit keberanian untuk bertaruh dan keberuntungan untuk memenangkan permainan.
Masihkah tersimpan sedikit pencerahan untuk kami, para manusia yang hidup dalam kegelapan misteri ini ?
Mengapa tak kau sudahi saja kehidupan yang hanya membuat manusia menjalani hidup dalam ketidakpastian ini? Ataukah ini juga termasuk dalam agendamu agar manusia tetap menjalaninya lalu menemukan jawaban misterimu? Apa kau akan tertawa bahagia dan menepu-nepuk pundak kami dengan bangga ketika kami telah mendapatkan arti dari misterimu? Atau kau hanya tersenyum sinis sembari mencoba lagi untuk membuat "rencana licik" di belakang punggung kami?

Tuhan,
Sebenarnya surat ini aku tulis karena aku bingung.

tanah jadah itu

Siang ini kaki telah menginjak kawasan Pondok Indah. Awal mula petualangan.
Tak lama setelah bertemu seorang rekan temanku, penjelajahan menuju sebuah toko buku yang menyediakan buku-buku Pulitzer dan Nobel. Sangat menarik. Terlebih tempat ini yang aku impikan untuk didatangi ketika masih menghirup udara bandung. Aku bertemu Milan Kundera di Kemang. Diselingi makan siang yang berharga 15.000 untuk dua orang, cukup mahal. Kisaran harga di Bandung 4.000 bisa makan ayam goreng. Heee..
Dilanjutkan ke Pasar Baru, wisma antara (renovasi), dan menghabiskan indahnya sore di Pasar Senen.
Malam hari, lelah, tapi belum menemukan tempat peristirahatan. Ah… sangat putus asa berjalan di sekitar bendungan Hilir, dan aku mulai merindukan Bandung.
Wisma itu berada tidak jauh dari Pasar Bendungan Hilir. Disana aku melepaskan kepenatan dan bercinta.
Jakarta pagi hari membakar kulit! Padahal waktu baru menunjukan pukul 10.00. Bendungan hilir terasa makin membara dengan berseliwerannya metro dan bajaj.
Jakarta kau membakarku!
Udara pengap di blok M, bau keringat bercampur dengan deru mesin angkutan massa.
Semakin ke utara udara semakin membuat kelenjar keringatku terus bekerja.
Mangga Dua.

Heran, betapa sulitnya hidup disini, tidak ada udara segar, keringat yang selalu membasahi celana jeans, pengamen yang "lucu", preman jujur di bus, bajaj vs busway, dan patung-patung bersanding dengan para pencakar langit.

Tersisa pertanyaan, bagaimana mereka masih tetap bertahan?

Demi tuhan.
Aku bersyukur tinggal di Bandung yang sudah mencapai 32 derajat ini.
Ya tuhan… aku berjanji…
Tidak akan menggerutu lagi tentang macetnya jalanan protokol, cuaca yang membuatku mual, dan kehidupan yang telah kau ciptakan di kota ini.

Ternyata nun dekat di kota berdurasi 2 jam sana.
Ada kehidupan yang lebih keras.
Ada perjuangan yang lebih berat.
Ada perkotaan yang kasat mata.
Ada monas di pusat kota.

Aku cinta Bandung dengan Ultimusnya, dengan Pasar kordonnya, dengan mie ayam Balkotnya, dengan jalan Braganya, dengan Taman Lansianya, dan dengan rumahku tercinta.

Selamat datang kembali, what a nice journey.
Tapi untuku kau hanya tempat berlibur dan melepas penat.
Walau tak dipungkiri, disana terselip kepenatan yang berbeda.
Tapi aku terhibur dengan adanya sesuatu yang tidak ditemukan di Bandung.

Kereta labu telah menunggu.
Disana kusir sudah mengabsen para penumpang.
Ada 2 orang wanita muda yang terdiam satu sama lain, satria bergitar, dua orang saudagar, dan satu pegawai kerajaan yang selalu berkomunikasi dengan dunia luar. Sangat berisik. Dan aku bersama pangeran duduk di bangku belakang sambil membawa pelita, untuk menerangi eksperimen kami dengan cahaya.
Kereta labu ini dingin, dan aku terduduk lemah, mengintip dari balik jendela kemana kusir akan membawa kami semua ke kota kembang.
Selamat tinggal ibukota, kataku lirih, terima kasih sudah menyambut kami dengan meriah lampu-lampu kota yang indah di malam hari, dan menyediakan persediaan oksigen untuk 2 orang pengunjung tambahan.
Aku sangat menikmati petualangan liar ini.

Terima kasih untuk seseorang yang bersamaku, untuk mewujudkan perjalanan ini.
Bersamanya, aku selalu melewati hal pertama.

puisi ini sepi

Puisi ini sepi
Mengapa kau pergi?*

Mungkin ada saatnya kita menyerah pada keadaan
Keadaan yang menguras air mata dan yang meninggalkan pedih di hati
Dan ketika mengalami ini, aku ingin tidak bangun untuk menyambut esok
Sepertinya aku memang harus selalu sendiri
Dulu selalu ada orang yang akan menjelangku di setiap sudutnya hari
Mentari sore yang menyembul indah di sebuah bukit
Tidak mampu untuk menghiburku
Akankah ada seseorang yang akan kembali menebak isi hatiku dan mengajaku melihat sore lagi?
Aku harap itu kau yang mengetuk pintu
Aku harap aku kan bisa menembus semu ini bersamamu lagi
Menghabiskan sore di sebuah sudut toko kue
Bercengkrama di rimbunnya pohon
Berkeliling kota dengan skuter hitam itu
Atau bercumbu di hangatnya asa
Tak tahu harus berkata apa
Sore ini tidak seindah seperti yang kurasa dulu
Di sela-sela istighfar ini
Aku berteriak pedih

« cozy knock, ahad 8 oktober 2006 »
Can’t u see what u’ve done to my heart?
* dari tia

black and white

Akhir atau awal tahun, orang selalu disibukan membuat resolusi, dan saya? Ah hanya angin lalu, karena bagi saya membuat resolusi sama dengan aturan, ada untuk dilanggar, prinsip saya, tahun baru sama dengan tahun-tahun sebelunya, berisi 24 jam, 7 hari dalam seminggu, dan 12 bulan dalam setahun, ada yang kurang?
Maka saya tidak menyebutnya itu sebuah resolusi tahunan, lebih tepatnya agenda atau janji, baik terhadap orang lain, terlebih terhadap diri sendiri.
Bersifat fleksibel, tidak terikat waktu dan cenderung tidak mengikat, tapi sekalinya agenda itu direncanakan, maka konsekuensi wajib hukumnya.
Dari tahun kemarin saya berniat untuk menggeluti dunia fotografi hitam putih, tapi baru terlaksana pertengahan januari lalu, bukan karena saya enggan untuk menghubungi "sang guru" tapi beliaulah yang terlampau sibuk, jadi disinalah saya sekarang, dalam proses belajar hitam putih. Semoga ini berhasil dan saya akan lulus. Itu harapan saya.
Lebih dekat dan intim menjalin hubungan dengan seseorang, partner kerja, soulmate, atau teman-teman yang membuat hidup saya layaknya sebuah roller coaster. Itu mimpi saya.
Lebih paham akan konsep hidup, mencoba untuk lebih dewasa dan tidak childish (I hate this behavior!) itu tujuan hidup saya.
Mencari seseorang yang dapat mengisi hidup saya, good man-fun sex-perfect life! Itu masa depan saya.
Menjalani dan mengonsep karya foto dengan soul-partner-mate saya, lebih serius dan tidak berharap banyak pada orang lelet, bekerja cepat, efisien, dan sempurna. Kalau bisa (dan saya mau) menjadi fighter! Itu dambaan saya.
Punya penghasilan tambahan untuk beli hal-hal berbau fotografi, dari kamera digital, Polaroid, wallpaper, sampai laptop. Itu janji saya.
Ganti image, potongan rambut baru, ikut trend baju dan warna 2007. itu bukan sifat saya.
Jadi apalah artinya resolusi (bagi saya) toh, dengan agenda yang telah saya list diatas sudah cukup untuk saya jalani sepanjang tahun ini, jika suatu hari nanti, saya punya kebutuhan lain, akan saya tambahkan dan akan diproses menjadi sesuatu yang berakhir dengan konsekuensi.
Saya benci orang plin-plan, menyebalkan dan pembohong tapi sedihnya kadang saya sendiri suka melakukan hal itu.
Saya tidak suka orang telat janjian, dan untungnya saya suka datang sejam atau setengah jam sebelum waktunya.
Saya suka menjadi dewasa, tapi sayangnya saya jarang melakukannya, masih perlu proses belajar atau masih childish?
Suka atau benci, hari-hari saya sekarang diisi dengan 9 grade, dari 1 putih, abu-abu gradasi, sampai 9 hitam pekat, layaknya foto hitam putih, simple, tidak jenuh dan jemu, tapi mempunyai karakter dan ciri khas kuat. Klasik, kuat untuk sebuah ukuran memori, mempunyai sejarah dan terselip mimpi di dalamnya, tentu saja, mimpi kita black and white kan?
"Dan entah dimana, di alam bawah sadar kita, warna hitam putih selalu mendominasi mimpi kita" kata Pochang.
Hidup yang colourfull sudah mulai saya tinggalkan, gunanya untuk lebih spesifik jika saya memilih sesuatu, tidak dibingunkan dengan mix and match sebuah warna yang hanya ditentukan oleh seorang designer hanya untuk memanipulasi spectrum warna kehidupan kita, membutakan mata hati dan kadang warna penuh dengan manipulasi, campuran tangan-tangan manusia yang tidak luput dari ketidaksempurnaan, fantasi dan hedonis yang berlebihan.
Saya benci warna-warni dari mulai pink tua , pink muda, pink mawar. Hijau daun, hijau lumut, hijau muda. Biru langit, biru persib, biru kehijau-hijauan.
Semua warna-warni memang menuntut kejelian dan tentu saja menyulitkan kita untuk memilih mana warna yang sejati. Dalam hitam putih saya hanya memilih sembilan, dalam warna-warni saya membutuhkan 3 warna primer ditambah kombinasinya yang menghasilkan 4 warna sekunder dan 12 tersier. Itu menurut teman arsitek saya, jumlahnya menjadi 16, dan masih bisa banyak lagi. Cukup membingungkan bagi saya yang hanya mempunyai pilihan kuat 9 warna. Apa itu namanya kalau bukan sebuah keragaman yang membuat bingung, tidak menemukan solusi.
Kita butuh warna ketika dunia sepi dan suram. Tapi saya suka kesuraman, karena ada kegalauan dan kesepian didalamnya, dalam kegalauan dan kesepian itulah, saya bisa menjadi, mencari dan menemui diri saya sebenarnya. Mencoba untuk merenung dan mengevaluasi diri. Membuat dunia semu sendiri, the finding never land, the place where I always belonging no matter how greedy I am.
What a wonderful world!