Monday, April 16, 2007

tanah jadah itu

Siang ini kaki telah menginjak kawasan Pondok Indah. Awal mula petualangan.
Tak lama setelah bertemu seorang rekan temanku, penjelajahan menuju sebuah toko buku yang menyediakan buku-buku Pulitzer dan Nobel. Sangat menarik. Terlebih tempat ini yang aku impikan untuk didatangi ketika masih menghirup udara bandung. Aku bertemu Milan Kundera di Kemang. Diselingi makan siang yang berharga 15.000 untuk dua orang, cukup mahal. Kisaran harga di Bandung 4.000 bisa makan ayam goreng. Heee..
Dilanjutkan ke Pasar Baru, wisma antara (renovasi), dan menghabiskan indahnya sore di Pasar Senen.
Malam hari, lelah, tapi belum menemukan tempat peristirahatan. Ah… sangat putus asa berjalan di sekitar bendungan Hilir, dan aku mulai merindukan Bandung.
Wisma itu berada tidak jauh dari Pasar Bendungan Hilir. Disana aku melepaskan kepenatan dan bercinta.
Jakarta pagi hari membakar kulit! Padahal waktu baru menunjukan pukul 10.00. Bendungan hilir terasa makin membara dengan berseliwerannya metro dan bajaj.
Jakarta kau membakarku!
Udara pengap di blok M, bau keringat bercampur dengan deru mesin angkutan massa.
Semakin ke utara udara semakin membuat kelenjar keringatku terus bekerja.
Mangga Dua.

Heran, betapa sulitnya hidup disini, tidak ada udara segar, keringat yang selalu membasahi celana jeans, pengamen yang "lucu", preman jujur di bus, bajaj vs busway, dan patung-patung bersanding dengan para pencakar langit.

Tersisa pertanyaan, bagaimana mereka masih tetap bertahan?

Demi tuhan.
Aku bersyukur tinggal di Bandung yang sudah mencapai 32 derajat ini.
Ya tuhan… aku berjanji…
Tidak akan menggerutu lagi tentang macetnya jalanan protokol, cuaca yang membuatku mual, dan kehidupan yang telah kau ciptakan di kota ini.

Ternyata nun dekat di kota berdurasi 2 jam sana.
Ada kehidupan yang lebih keras.
Ada perjuangan yang lebih berat.
Ada perkotaan yang kasat mata.
Ada monas di pusat kota.

Aku cinta Bandung dengan Ultimusnya, dengan Pasar kordonnya, dengan mie ayam Balkotnya, dengan jalan Braganya, dengan Taman Lansianya, dan dengan rumahku tercinta.

Selamat datang kembali, what a nice journey.
Tapi untuku kau hanya tempat berlibur dan melepas penat.
Walau tak dipungkiri, disana terselip kepenatan yang berbeda.
Tapi aku terhibur dengan adanya sesuatu yang tidak ditemukan di Bandung.

Kereta labu telah menunggu.
Disana kusir sudah mengabsen para penumpang.
Ada 2 orang wanita muda yang terdiam satu sama lain, satria bergitar, dua orang saudagar, dan satu pegawai kerajaan yang selalu berkomunikasi dengan dunia luar. Sangat berisik. Dan aku bersama pangeran duduk di bangku belakang sambil membawa pelita, untuk menerangi eksperimen kami dengan cahaya.
Kereta labu ini dingin, dan aku terduduk lemah, mengintip dari balik jendela kemana kusir akan membawa kami semua ke kota kembang.
Selamat tinggal ibukota, kataku lirih, terima kasih sudah menyambut kami dengan meriah lampu-lampu kota yang indah di malam hari, dan menyediakan persediaan oksigen untuk 2 orang pengunjung tambahan.
Aku sangat menikmati petualangan liar ini.

Terima kasih untuk seseorang yang bersamaku, untuk mewujudkan perjalanan ini.
Bersamanya, aku selalu melewati hal pertama.

No comments: